Hubungan diplomatik Pemerintah Indonesia dengan Australia,
belakangan ini selalu diwarnai berbagai masalah. Setelah persoalan eksekusi
mati dua warga Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran membuat Canbera
kalang kabut, kini Jakarta dibuat meradang dengan sikap Pemerintah Australia
karena menolak puluhan “manusia perahu”. Jika hanya menolak saja, tak terlalu
persoalan bagi kita. Tetapi yang menjadi Indonesia merah telinga, karena
puluhan pencari suaka ke Australia itu diarahkan masuk kembali ke Indonesia
daripada ke Australia. Sebelum itu, Indonesia sempat kecewa dan protes keras
karena dimata-matai oleh Australia.
Seperti ramai diberitakan, pekan lalu juru bicara
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan telah menerima informasi
bahwa ada kapten dan enam awak kapal dibayar masing-masing 5 ribu dolar AS atau
setara Rp66 juta oleh pejabat Australia. Kapten dan awak kapal itu disuruh
membawa kembali para pencari suaka tersebut ke Indonesia melalui Kupang Nusa Tengara
Timur.
Saat Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri
sedang menyelidiki dugaan suap yang dilakukan pemerintah Australia tersebut,
Direktur Regional UNHCR–Badan PBB untuk urusan pengungsi James Lynch memastikan
bahwa Australia memang telah memberikan uang suap kepada kapten dan kru kapal
yang membawa 65 pengungsi. Kepastian tersebut didapat pasca-UNHCR melakukan
wawancara terhadap ke-65 pengungsi, dan juga Kapten serta kru kapal tersebut,
di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pengakuan para pengungsi, mereka ditahan dalam
kapal milik Bea dan Cukai Australia selama empat hari, sebelum mereka
dimasukkan dalam dua kapal biru dan dibawa ke Indonesia. Sebelumnya, Perdana
Menteri Australia Tony Abbott enggan berkomentar banyak mengenai hal ini, namun
secara tersirat dirinya mendukung apa yang dilakukan oleh para pejabat di
imigrasi Australia tersebut. Sebenarnya sikap Australia menolak para imigran
masuk ke negaranya sudah beberapa kali. Itu sebabnya, ketika Pemerintah
Indonesia menawarkan kerja sama penanganan imigran tujuan Australia yang
transit di Indonesia, selalu ditolak dengan berbagai alasan.
Terkait imigran tujuan Australia dikembalikan kembali ke
Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi telah mempertanyakan hal
ini kepada Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson. Retno menyatakan,
Grigson berjanji akan menyampaikan pertanyaannya ke pemerintah pusat di
Canbera, dan akan segera memberi jawaban.
Apa yang dilakukan Pemerintah Australia yang menolak
kedatangan imigran, sangat mengkhawatirkan karena di dalam kapal terdapat
anak-anak dan ibu hamil. Para imigran merupakan pencari suaka yang rata-rata
berasal dari Bangladesh. Memang, Indonesia sendiri meskipun tidak menjadi
anggota reffugee convention, namun akan tetap menerima para imigran karena
menganggap ini masalah kemanusiaan.
Banyak negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda
konflik dalam negeri, seperti Iran, Irak, Syria dan Afganistan warganya mencari
suaka ke Australia. Mereka melarikan diri dari negaranya hanya dengan
menggunakan sebuah perahu dan bekal makanan seadanya. Indonesia sendiri, karena
mayoritas penduduknya Muslim, telah menjadi tujuan tersendiri bagi pengungsi
suku Muslim Rohingya Myanmar yang tidak diakui di negaranya.
Jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia yang ditempatkan di
Aceh hingga saat ini telah mencapai 11.941 orang. Mereka kini masih dalam posisi
menunggu untuk diverifikasi maupun menunggu masa penempatan ke negara ketiga.
Sebab masalah imigran bukan masalah satu atau dua negara saja, melainkan sudah
menjadi masalah regional bahkan internasional.
Karenanya kita berharap negara-negara lain turut menampung
para imigran Rohingya tersebut dan tidak mengandalkan Indonesia semata dalam
penyelesaiannya. Begitu juga terkait 65 pencari suaka yang mencoba mencapai
Australia, yang terdiri dari 54 warga Sri Lanka, 10 orang Bangladesh dan satu
pengungsi dari Myanmar, hendaknya Australia tidak menolaknya, apalagi
“melempar” ke Indonesia. Sebagai dua negara bersahabat (Indonesia-Australia),
sudah seyogyanya memang menerima para pencari suaka tersebut, terlebih dari 65
orang tersebut tiga di antaranya adalah anak-anak. Begitu pula sebagai
sama-sama negara berdaulat, semestinya Australia juga turut merasakan apa yang
dirasakan Pemerintah Indonesia dengan menampung ribuan pengungsi Rohingya.
Sumber : http://balitribune.co.id/2015/06/selalu-tidak-nyaman/
0 komentar:
Posting Komentar