Soe Hok Gie

Soe Hok Gie (lahir di Jakarta 17 Desember 1942, meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969), merupakan seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.


Biografi
Soe adalah seorang etnis Tionghoa Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Giesendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Ia keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Arief Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia.

Pendidikan, karier dan kematian
Setelah menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di SMA Kolese Kanisius, Soe kuliah di Universitas Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di universitas, ia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Ia selama kurun waktu sebagai mahasiswa menjadi pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Setelah Riri Riza merilis film berjudul Gie pada tahun 2005, artikel-artikelnya disusun oleh Stanley dan Aris Santoso yang diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan oleh penerbit GagasMedia.

Sebagai seorang pendukung hidup yang dekat dengan alam, Soe seperti dikutip Walt Whitman dalam buku hariannya: "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi." Pada tahun 1965, Soe membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Dia menikmati kegiatan hiking, dan meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung berapi Semeru sehari sebelum ulang tahun ke 27. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat.

Soe pernah menulis dalam buku hariannya:

"Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Pernyataan Soe serupa dengan komentar Friedrich Nietzsche, kepada seorang filsuf Yunani. Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Soe dalam tesis universitasnya juga diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah.

Buku harian Soe ini menjadi inspirasi untuk film 2005, berjudul Gie, yang disutradarai oleh Riri Riza dan dibintangi Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie. Soe juga merupakan subyek dari sebuah buku 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie-: Diary of a Young Indonesian Intellectual. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Fakta Tentang Soe Hok Gie
1. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu - yi dalam bahasa Mand.

2. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran ( 1983 ).

3. Hok Gie meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, di puncak Gunung Semeruakibat menghirup asap beracun gunung tersebut.

4. Dikirimi Surat Kaleng Gara-gara Tulisan
Gie adalah penulis yang produktif. Artikel-artikelnya tersebar di Harian KAMI, Kompas, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Ia menulis di rumah orangtuanya di Jalan Kebon Jeruk IX, dekat Glodok, Jakarta Barat. Di kamar belakang yang temaram, berteman nyamuk, ketika kebanyakan orang telah larut dalam mimpi.
Pemuda kurus ini banyak dikagumi lantaran tulisan-tulisannya. Namun, ada juga yang tak suka. Suatu kali Gie dikirimi surat kaleng oleh seseorang yang mengaku pecinta Bung Karno. Rupanya pengirim surat gusar dengan kritik-kritik Gie dalam mingguan Mahasiswa Indonesia. Surat itu berisi umpatan berbau rasial.

5. Mengirim Bedak ke Aktivis Mahasiswa Lain
Sebelum mendaki Semeru, ia mengirim bedak, gincu, dan cermin kepada 13 aktivis mahasiswa yang menjadi anggota DPR setelah Orde Baru berkuasa. Harapannya, agar mereka bisa berdandan dan tambah "cantik" di hadapan penguasa.
Gie kecewa dengan teman-teman mahasiswanya di DPR. Mereka dianggap sudah melupakan rakyat, lebih mementingkan kedudukannya di parlemen. Buat Gie, aktivis mehasiswa sebagainya hanya menjadi kekuatan moral, bukan pelaku politik praktis. Dalam surat pengantar kiriman, 12 Desember 1969, ia menulis, "Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmati kursi Anda, tidurlah nyenyak."

3. Mengecam Pembunuhan Massal Kader dan Simpatisan PKI
Gie gencar mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan perilaku politiknya. Tapi, ia menjadi salah seorang intelektual yang pertama-tama mengecam pembunuhan massal terhadap kader dan simpatisan PKI menyusul peristiwa G30S.
Ia menulis esai berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Bali. Petikannya, "Selama tiga bulan, Bali berubah menjadi neraka penyembelihan. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman putra Bali, tanyakan apakah dia punya seorang kenalan yang menjadi korban peristiwa berdarah itu. Tentu akan diiyakannya, karena memang demikianlah kenyataannya di Bali."
Gie juga mengritik stigmatisasi kader PKI. Misalnya, dengan surat bebas G30S. Ia menganggapnya tak perlu. "Bahkan anak-anak SD kelas V dan IV (umur 12-14 tahun) harus punya surat "bersih diri" (bersih dari apa?). Tiga tahun yang lalu mereka baru berusia 9-11 tahun. Ini benar-benar keterlaluan," tulisnya dalam Surat Tidak Terlibat G30S yang dimuat di Kompas, 29 April 1969.

0 komentar:

Posting Komentar

Reffel Rere. Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Muhammad Refel H
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Copyright © 2012 Rere Share Template by : UrangkuraiPowered by Blogger.