Orang Turki Utsmani atau
Turki Usmani (penulisan yang benar: Turki Osmanlı) adalah populasi berbahasa
Turki dari Kesultanan Utsmaniyah yang membentuk dasar kelas militer dan
penguasa negara Turki. Informasi yang dapat dipercaya tentang sejarah awal
bangsa Turki Usmani langka, tetapi mereka mengambil nama Turki mereka, Osmanlı
(telah rusak dalam beberapa bahasa Eropa sebagai "Ottoman"), dari
Dinasti Osman I (memerintah sekitar 1299-1326), pendiri dinasti yang memerintah
imperium Utsmani selama 624 tahun.
Setelah ekspansi dari
pusatnya di Bitinia, kerajaan Utsmani mulai menggabungkan Muslim berbahasa
Turki lainnya dan Kristen non-Turki, menjadi Turki Utsmani dan akhirnya Turki
masa kini. Kekaisaran Turki Utsmani tercatat pernah memblokir semua jalur darat
ke Eropa dengan menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Byzantium - Kekaisaran
Romawi Timur, sehingga bangsa Eropa harus mencari cara lain untuk berdagang
dengan negara-negara Timur dalam perdagangan rempah-rempah. Pemblokiran ini
mengantarkan pada Zaman Penjelajahan bangsa Eropa dan akhirnya dominasi mereka
atas Dunia Timur.
Tentang Turki Utmani
Pendiri kerajaan ini
adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah
utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke
Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan
atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan
Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri
menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin
oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya
bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang
Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan.
Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia
Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina
wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M
Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman.
Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau
memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa
pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng
Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan
Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam
beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh
atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan
berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak
berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M)
berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang
membawa kemajuan dalam Islam.
Sebelum Tanzimat
Sebagai diketahui
Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan
temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa
duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai
gelar Khalifah.8 Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan,
kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua
kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan
pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak
mempunyai banayak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah
Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam
menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan
dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah
bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah
di Asia dan Mesir.9 Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk
kepada mazhab Hanafi. Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan
adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah
(al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding
(Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang
berlaku.
3.Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi
yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung
(Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.
Lembaga peradilan
(qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi
dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat
pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan
pemerintahan.
Masa Tanzimat (1839 – 1876 M)
Secara etimologi
tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti
mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan
seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad
ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki
Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi,
pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Tanzimat merupakan suatu
gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh
Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan
yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II
(1808-1839 M). Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal
diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga
dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan
antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam
(tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at
(tasyri’ madani). Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam,
sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk
mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan
negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani
(Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah
yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i
(Peradilan Agama ). Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II
memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia.
Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum
terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat
yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.
Disamping itu pada masa
ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang
mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada
mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka
berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang
menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan
gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang
muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi
dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash
secara kontekstual.
Agaknya keadaan
masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan
modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya
Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M,
kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif
al-Humayun) pada tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul
Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai
bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam
dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat.
Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang
membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya
ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai
pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai
kewajiban dan lamanya dinas meliter.
Selanjutnya dijelaskan
bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan
hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap
kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin
dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris
dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan
demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita. Melihat muatan
Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi
antar muslim tradisional dengan kemajuan, serta institusi-institusi baru yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka.
Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting
dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk
semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas
dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi
kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi
hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang
pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan
antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan
dari kekuasaan ulama. Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan
Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini
berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856M Sultan Abdul Majid
mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung pembaharuan
terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani, sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada
perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun
piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun
jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada
bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap
pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani
dalam menghadapi Eropa.
Dapat dipahami bahwa
perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak
dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan
hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru
yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang
secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah
ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa
nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah
al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat
para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak
melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan. Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan
serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi
dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang
dagangan yang diperjualbelikan.
Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah
Munculnya Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa
Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum
terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan,
bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan suatu hal yang
positif. Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi
pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab
yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini. Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum.
Panitia yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh)
tahun mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M
panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama
Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H,
dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan
majallah ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria. Peraturan Undang-undang ini
terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang
defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2. Bab-bab Muamalah yang
dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab. Pada muqaddimah setiap
bab berisikan istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab.
Majallah al-Ahkam
al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari
ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat
lain dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini
tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan
beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu
Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini khusus
menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab selain
Hanafi. Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta,
dan tidak hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim
(qadhi) dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman
hukum dalam satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang
mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya
ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan
yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang
dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang
dihasilkan, sementara peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
Tasyri’ setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan
sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi
juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul
lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah),mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung. Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki), yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at danMahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah),mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung. Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki), yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at danMahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar