Fakta Banjir Jakarta

1. Banjir Jakarta adalah cerita berabad-abad. 

Banjir bukan cerita baru di Jakarta. Kota ini bahkan tercatat pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621.  Air sudah bolak-balik menerjang ketika Jakarta masih bernama Batavia, yaitu tahun 1654 dan 1878.

Pada Januari-Februari 1918, berbagai kawasan di Jakarta juga terendam banjir karena meluapnya Sungai Ciliwung. Semenjak itu, banjir semakin rutin terjadi, termasuk juga ketika Jakarta dipimpin Ali Sadikin yaitu tahun 1976.

2. Rentang waktu terjadinya banjir besar di Jakarta semakin pendek. 

Seperti terungkap dalam artikel “10 Mitos Air dan Banjir di Jakarta”, siklus banjir besar lima tahunan di Jakarta hanyalah mitos. Banjir besar bukan siklus, melainkan kejadian acak yang tidak dapat dipastikan akan datang setiap berapa tahun. Angka lima tahun adalah angka statistik yang bisa saja menjadi sepuluh, tiga, atau bahkan satu. Angka tersebut bergantung pada kondisi alam dan kualitas manajemen banjir di Jakarta.

3. Ada empat variabel yang menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta.


Variabel-variabel itu adalah 1) jumlah limpasan air dari kawasan hulu; 2) limpasan air di Jakarta sendiri; 3) tinggi permukaan air laut; dan 4) tinggi permukaan tanah.

Limpasan air dari Bogor mencapai 37 juta meter kubik per tahun. Sementara di Jakarta sendiri, dari 2 miliar meter kubik air hujan per tahun, hanya 26,6 persen yang terserap ke dalam tanah. Sisanya alias 73,4 persen (1.468.000.000) meter kubik merupakan air limpasan yang langsung mencari laut.

Di sisi lain, hampir 40 persen wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan laut. Kondisi ini diperparah dengan terus menurunnya permukaan tanah mencapai 18 cm/tahun (berdasarkan penelitian Hasanuddin Z. Abidin, 2008), dan meningkatnya tinggi permukaan air laut hingga 8 mm/tahun (berdasarkan penelitian Sutisna S., dkk, 2002). 
            
4. Ada empat macam status kondisi bencana banjir di Jakarta. 

Istilah siaga I (kritis), siaga II (waspada), siaga III (rawan), dan siaga IV (normal) santer terdengar seiring pemberitaan media. Siaga, berdasarkan buku Dinas PU DKI, adalah suatu sikap atau tingkat kemampuan untuk menghalangi  dan atau mengelola suatu bahaya dalam rangka mengurangi dampaknya yang mungkin terjadi dan menimpa mereka. 

Pada bencana banjir, status siaga ditentukan berdasarkan pengamatan tinggi muka air (TMA) pada stasiun pengamatan dan pintu air. Siaga IV adalah status paling awal, sementara siaga I adalah status paling gawat. Setiap titik pengamatan memiliki standar siaga masing-masing. Status siaga I, misalnya, diberikan pada Katulampa apabila TMA melebihi dua meter; sementara status tersebut diberikan pada Manggarai apabila TMA melebihi 9,5 meter. 

Selain untuk kemudahan komunikasi, perbedaan status siaga memiliki konsekuensi pergantian komando. Contohnya pada siaga I, komando akan berpindah ke Gubernur DKI Jakarta. 

5. Data 14 titik pengamatan tinggi muka air bisa diakses langsung oleh publik.

Pemerintah DKI Jakarta mempunyai 14 titik pengamatan yang mengawasi tinggi muka air di berbagai lokasi. Titik-titik tersebut yaitu Katulampa, Pesanggrahan, Angke Hulu, Cipinang Hulu, Sunter Hulu, Depok, Manggarai, Karet, Waduk Pluit, Pasar Ikan, Pulo Gadung, Sunter Utara, Sunter Selatan, dan Krukut Hulu. Data pantauan tinggi muka air yang diperbarui setiap jam bisa dilihat di situs resmi Provinsi DKI Jakarta.

Informasi ini sangat penting untuk warga yang tinggal di tempat-tempat rawan banjir. Ketika misalnya status siaga meningkat pada Katulampa, maka warga Kampung Pulo dan Bukit Duri akan segera bersiap-siap, karena sekitar delapan jam kemudian air dari Katulampa akan tiba di tempat mereka.

6. Dari 226 situ di Jabodetabek, hanya 33 dalam kondisi baik.

Situ berperan penting untuk menampung dan menyerap air hujan. Berdasarkan data dari PKSA Ciliwung-Cisadane tahun 2008, di Jabodetabek terdapat 226 situ. Sayangnya, hanya 33 situ yang berada dalam kondisi baik. Sebanyak 144 berada dalam kondisi rusak, dan 49 berada dalam kondisi rehab. 

Banyak juga situ-situ yang terancam menyempit atau bahkan hilang sepenuhnya, karena berubah menjadi kawasan perumahan.

7. Akar masalah banjir di Jakarta adalah terjadinya perubahan fungsi lahan tanpa memperhatikan kondisi ekosistem yang lestari. 

Baik di kawasan hulu seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, maupun di kawasan hilir seperti Penjaringan, terjadi perubahan fungsi lahan besar-besaran yang mengabaikan keberlanjutan ekosistem. Berbagai kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta berubah menjadi kawasan perumahan maupun pusat perbelanjaan. Ini menyebabkan area resapan di Jakarta menyusut drastis.

Peraturan pemerintah Jakarta yang mewajibkan setiap pihak yang mendirikan bangunan untuk membuat sumur resapan juga kerap dilanggar. Selain itu, banyak juga pemilik rumah yang membuat perkerasan semen pada seluruh halaman rumah, sehingga air tidak bisa terserap ke dalam tanah. Secara akumulatif, semua ini memperparah banjir di Jakarta.


Sumber : Yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

Reffel Rere. Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Muhammad Refel H
Lihat profil lengkapku

Total Pageviews

Copyright © 2012 Rere Share Template by : UrangkuraiPowered by Blogger.